Masalah Suku Bunga AS Naik Sudah Basi, Ini yang Lebih Berat
Arah kebijakan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat tak lagi menjadi satu-satunya momok yang akan mengganggu perekonomian Indonesia. Ada ancaman lain yang mengintai.
Ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan Chatib Basri mengatakan, ancaman pertama yang akhirnya membuat Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo pada Oktober 2023 adalah tren kenaikan imbal hasil bunga surat utang pemerintah Amerika Serikat jangka panjang yang mulai naik.
“Nah, yang menarik adalah kenaikan dari bond yield ini justru terjadi karena persepsi di pasar bahwa risiko dari resesi di Amerika itu mengalami penurunan. Justru ekonomi Amerika itu strong. Karena ekonomi Amerika itu strong maka mereka kemudian mulai melakukan konsolidasi balance sheet,” kata Chatib kepada CNBC Indonesia dikutip Senin (23/10/2023).
Kenaikan imbal hasil US Treasury tenor panjang, bersaing dengan tenor jangka pendek, menurut Chatib membuat aliran modal dari negara-negara berkembang terus masuk ke Amerika Serikat. Kondisi ini diperburuk dengan potensi inflasi yang akan terus naik ke depan karena dampak baru perang di Timur Tengah antara Hamas dan Israel yang membuat harga minyak atau komoditas energi naik.
Oleh sebab itu, gejolak terhadap nilai tukar rupiah saat ini menurutnya begitu besar, hingga Bank Indonesia harus mengambil kebijakan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi di level 6% dari delapan bulan sebelumnya bertahan di level 5,75%. Alasannya tak lain, demi mencegah selisih suku bunga tak terlalu tipis dengan AS, hingga aliran modal tak terus keluar.
Kurs rupiah sepekan lalu pun masih terus tertekan. Dilansir dari Refinitiv, rupiah pada akhir pekan lalu ditutup di angka Rp15.870/US$ atau melemah 0,38% jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan Kamis (19/10/2023). Namun depresiasinya lebih baik, dari Kamis, yang melemah hingga 0,54%.
Kendati begitu, BI mencatat pelemahan rupiah sejalan dengan kaburnya investor luar negeri sepanjang minggu ini. Dari data BI terkait transaksi pada 16 – 19 Oktober 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat berada dalam posisi jual dengan neto Rp5,36 triliun. Total ini terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di SRBI.
Adapun, selama 2023, transaksi asing masih tercatat di posisi beli neto Rp51,45 triliun di pasar SBN, namun tercatat jual neto Rp7,26 triliun di pasar saham. Sementara itu, untuk SRBI yang baru dirilis bulan lalu, asing tercatat beli neto Rp11,06 triliun.
“Kalau dia hanya mengandalkan intervensi maka intervensi yang harus dilakukan jumlahnya besar. Dan enggak mungkin tahan juga karena cadangan devisa akan tergerus, jadi dia mesti kombinasikan juga dengan kenaikan bunga,” tutur Chatib.
Permasalahan kedua, yang membuat komplikasi makin rumit terhadap tekanan ekonomi global ke domestik menurut Chatib adalah pengaruh dampak berkepanjangannya fenomena El Nino, atau kekeringan dan panas ekstrem yang melanda banyak negara termasuk Indonesia.
Persoalan ini memengaruhi pasokan komoditas pangan semakin sulit diperoleh karena produksi komoditas pangan utama seperti beras juga sulit diperoleh. Maka, ketika nilai tukar rupiah terus melemah dan pasokan beras harus dipenuhi dengan impor akan membuat tekanan pada neraca perdagangan maupun transaksi berjalan di tengah tingginya harga komoditas minyak mentah.
“Jadi komplikasinya agak banyak soal ini, kenapa? karena ini kejadian juga bersamaan juga dengan El Nino, di mana harga berasnya naik tuh dan berapa negara mulai membatasi ekspor. Jadi itu penting sekali untuk secure mengenai berasnya. Kalau rupiahnya melemah, di impor beras harganya juga mahal kan,” ucap Chatib.
“Kalau harga beras naik itu penduduk miskin yang paling kena. Itu kemiskinan bisa naik tuh. Kalau BBM itu konsumsi menengah atas kalau beras di penduduk miskin,” tegasnya.
Permasalahan ini pun diamini oleh Kepala Ekonom BCA David Sumual. Menurutnya, komplikasi permasalahan eksternal yang dihadapi Indonesia saat ini memang terletak pada perilaku pasar keuangan global yang terus mencari aset aman seperti dolar di tengah terus kuatnya perekonomian AS dan konflik geopolitik di berbagai wilayah.
Tercermin dari likuiditas devisa luar negeri bersih yang telah minus 82,74% secara tahunan dan likuiditas domestik bersih yang telah minus 96,96% per Agustus 2023. Portofolio kepemilikan asing di pasar saham pun telah turun Rp 36,44 triliun dari posisi September Rp 2.833,3 triliun, obligasi pemerintah turun Rp 23,30 triliun dari Rp 823 triliun, dan obligasi korporasi turun Rp 260 miliar dari Rp 10,8 triliun.
“Mengingat kondisi likuiditas global yang semakin banyak terserap oleh pasar obligasi AS seiring kenaikan imbal hasil UST securities dan ketegangan geopolitik yang meningkatkan permintaan safe haven assets,” ujar David.
Maka tak ada pilihan lain bagi Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga untuk menekan permintaan dan menghemat likuiditas di dalam negeri. Sebab, dia mengatakan di tengah kondisi itu BI tak mungkin memilih jalan untuk membiarkan rupiah terus melemah ke titik keseimbangan baru seperti pada 1998 demi memperbaiki ketidakseimbangan likuiditas pada sektor riil.
“Pelemahan Rupiah belakangan ini hampir seluruhnya disebabkan oleh faktor-faktor global, termasuk jatuhnya harga batu bara, yang membalikkan neraca berjalan menjadi negatif dan menyebabkan kinerja Rupiah belakangan ini lebih buruk dibandingkan mata uang-mata uang Asia lainnya,” tegasnya.