Harga Minyak Longsor ke Level Terendah Empat Tahun

Harga minyak dunia kembali longsor pada Selasa (8/4/2025), menyentuh titik terendah dalam empat tahun terakhir. Ketegangan yang semakin memanas dalam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, dua raksasa ekonomi dunia, memicu kekhawatiran resesi global dan mengguncang sentimen pasar.
Dikutip dari Reuters, harga minyak Brent ditutup turun US$ 1,39 (2,16%) menjadi US$ 62,82 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS juga merosot US$ 1,12 atau 1,85% dan ditutup di posisi US$ 58,20 per barel. Saat berita ini ditulis Pukul 06.30 WIB di hari Rabu, Harga Minyak WTI diperdagangkan di US$ 57,35 per barel.
Penurunan tajam ini melanjutkan tren negatif sehari sebelumnya, ketika harga minyak Brent dan WTI anjlok masing-masing 14% dan 15%, pasca pengumuman Presiden AS Donald Trump pada 2 April tentang penerapan tarif balasan terhadap seluruh impor dari China.
Menurut pejabat Gedung Putih, AS akan mulai menerapkan tarif sebesar 104% terhadap barang-barang asal China mulai Rabu pukul 00.01 waktu setempat. Kebijakan ini diambil setelah China tidak mencabut tarif balasan sebesar 34% terhadap produk-produk AS, seperti yang diminta Trump sebelum batas waktu Selasa siang.
Akibat ketegangan ini, harga Brent sempat jatuh lebih dari US$ 2 per barel selama sesi perdagangan, sementara WTI juga turun lebih dari US$ 2 dalam perdagangan pasca-penutupan. Indeks saham AS pun ikut tertekan.
China menyatakan tidak akan tunduk pada tekanan yang disebutnya sebagai ‘pemerasan’ oleh AS. Bahkan, Kementerian Perdagangan China menegaskan bahwa negara itu akan ‘berjuang sampai akhir’, meningkatkan ketakutan akan kemungkinan kontraksi ekonomi global.
“Situasi ini memunculkan skenario resesi global, di mana kekhawatiran terhadap penurunan permintaan energi mulai terlihat,” kata Direktur Strategi Pasar di perusahaan jasa keuangan StoneX Alex Hodes dalam sebuah catatan.
Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menyampaikan, kepada Senat bahwa hingga saat ini China belum menunjukkan niat untuk bekerja menuju kesetaraan perdagangan.
Sementara itu, Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak Brent dan WTI masing-masing akan berada di level US$ 62 dan US$ 58 per barel pada Desember 2025. Setahun setelahnya, harga diperkirakan turun menjadi US$ 55 untuk Brent dan US$ 51 untuk WTI, tergantung pada skenario pasar.
Analis dari JP Morgan Natasha Kaneva menyebut, pemerintahan AS sangat berambisi menurunkan harga minyak ke kisaran US$ 50 atau lebih rendah. Bahkan, AS siap menghadapi gangguan industri serupa dengan krisis harga pada 2014 antara OPEC dan produsen shale oil, jika itu bisa menekan biaya produksi minyak dalam jangka panjang.
Di sisi lain, Presiden Trump secara mengejutkan mengumumkan bahwa AS akan memulai pembicaraan langsung dengan Iran terkait program nuklirnya. Namun, Menteri Luar Negeri Iran menegaskan bahwa komunikasi yang terjadi akan bersifat tidak langsung.
Menteri Energi AS Chris Wright memperingatkan bahwa sanksi terhadap Iran bisa semakin diperketat jika tidak tercapai kesepakatan mengenai isu nuklir. “Sudah pasti, kami akan memberlakukan sanksi yang sangat ketat terhadap Iran, dengan harapan mereka menghentikan program nuklirnya,” ujar Wright dalam wawancara di CNBC.
Sementara itu, menurut data awal dari American Petroleum Institute (API), stok minyak mentah dan distilat AS menurun pekan lalu, sedangkan persediaan bensin meningkat. Stok minyak mentah dilaporkan turun 1,1 juta barel dalam sepekan yang berakhir pada 4 April. Stok distilat turun 1,8 juta barel, sementara stok bensin naik 210 ribu barel.
Data resmi mingguan dari Badan Informasi Energi (EIA) dijadwalkan rilis pada Rabu.
sumber : investor.id