Harga Minyak Anjlok, Manuver Trump Bikin Pasar Panik

Harga minyak dunia anjlok lebih dari 2% pada Rabu (12/2/2025). Setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bermanuver dengan mengambil langkah diplomatik besar pertama kalinya untuk mengakhiri konflik Rusia-Ukraina.

Dikutip dari Reuters, konflik Rusia-Ukraina selama ini menjadi faktor yang menopang harga minyak akibat kekhawatiran terhadap pasokan global.

Harga minyak Brent ditutup turun US$ 1,82 (2,36%) ke level US$ 75,18 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun US$ 1,95 (2,66%) dan ditutup menjadi US$71,19 per barel. Penurunan ini terjadi setelah tiga hari berturut-turut mengalami kenaikan, di mana Brent naik 3,6% dan WTI meningkat 3,7%.

Dalam upaya menekan konflik Rusia-Ukraina, Trump mengadakan pembicaraan melalui telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.

“Trump melakukan pembicaraan damai, dan saya pikir hal ini telah mengurangi risiko geopolitik yang selama ini menopang harga minyak,” kata analis senior dari Price Futures Group Phil Flynn.

Melalui unggahan di platform media sosialnya, Trump mengungkapkan, ia dan Putin telah sepakat untuk segera memulai negosiasi. “Kami akan segera memberitahu Presiden Zelenskiy tentang percakapan ini, sesuatu yang akan saya lakukan sekarang juga,” tulis Trump.

Kantor Zelenskiy kemudian mengkonfirmasi bahwa dirinya dan Trump telah berbicara melalui telepon selama sekitar satu jam.

Selain faktor geopolitik, para investor juga mencermati langkah The Fed terkait suku bunga setelah laporan terbaru menunjukkan inflasi AS lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Januari. Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan, ekonomi AS dalam kondisi baik dan tidak terburu-buru memangkas suku bunga, tetapi siap melakukannya jika inflasi turun atau pasar tenaga kerja melemah.

“Kombinasi inflasi yang lebih tinggi dan kemungkinan perdamaian di Ukraina memicu aksi jual minyak saat ini,” tambah Flynn.

Data inflasi yang dirilis Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan kenaikan harga konsumen yang lebih kuat dari perkiraan, menimbulkan kekhawatiran bahwa perekonomian yang terus memanas dan tarif baru yang akan datang dapat menghambat harapan pemangkasan suku bunga The Fed.

“Data inflasi yang lebih tinggi ini mengurangi kemungkinan The Fed memangkas suku bunga dari September ke Desember,” ujar Flynn.

Laporan Administrasi Informasi Energi (EIA) menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS meningkat lebih besar dari perkiraan pada pekan lalu. Sementara itu, stok bensin mencatat penurunan tak terduga, sedangkan stok distilat justru mengalami kenaikan.

Di sisi lain, Rusia kemungkinan akan terpaksa mengurangi produksi minyaknya dalam beberapa bulan mendatang karena sanksi AS yang menghambat akses mereka terhadap kapal tanker untuk mengirim minyak ke Asia. Selain itu, serangan drone Ukraina juga mengganggu kilang minyak Rusia.

Sementara itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam laporan bulanan mereka memperkirakan permintaan minyak global akan meningkat sebesar 1,45 juta barel per hari (bpd) pada 2025 dan 1,43 juta bpd pada 2026. Proyeksi ini tetap tidak berubah dari bulan sebelumnya.

Di sisi produksi, EIA meningkatkan perkiraan produksi minyak mentah AS menjadi rata-rata 13,59 juta bpd pada 2025, naik dari estimasi sebelumnya sebesar 13,55 juta bpd.

Dalam perkembangan lain, pemerintahan Trump menunjuk Kathleen Sgamma, seorang pendukung industri minyak dan gas di negara bagian Barat AS, sebagai kepala Biro Pengelolaan Lahan di Departemen Dalam Negeri AS. Lembaga ini bertanggung jawab atas pengelolaan sekitar 250 juta hektar lahan publik di negara tersebut.


sumber : investor.id